Rabu, Desember 17, 2025

2 Bulan Lebih Menghilang, Pembangunan Taliabu Mandeg Total, Lifinus : Bupati Sebaiknya Ajukan Cuti Melahirkan

Must read

Bobong, Ufuktimur.com — Kurang lebih 2 Bulan, Bupati Pulau Taliabu tak pernah menginjakan kaki di Pulau Taliabu.

Bupati Pulau Taliabu, Sashabila Mus meninggalkan Pulau Taliabu pada tanggal 21 Agustus 2025, hingga 26 Oktober Bupati belum juga kembali ke Daerah yang dipimpinnya saat ini

Disisi yang lain, kebutuhan pembangunan Pulau Taliabu sangat memprihatinkan, mulai dari jalan, Jembatan maupun infrastruktur lainnya. Seharusnya, Bupati menaruh perhatian akan kondisi yang dirayakan masyarakat Taliabu saat ini, bukan sebaliknya lari dari tanggungjawab sebagai kepala daerah.

Amatan media, sejak dilantik pada tanggal 26 Mei 2025 lalu, Bupati Pulau Taliabu Sashabila Mus belum sampai 10 hari berkantor di Pulau Taliabu. Ia lebih memilih menetap di Jakarta dibanding tinggal di Taliabu.

Hal ini mendapat sorotan, Koordinator Font Pemuda Taliabu (FPT) Lifinus Setu. Ia menyarankan ke Bupati agar segera mengambil cuti melahirkan sebagai bentuk penghormatan terdapat etika publik dan etika publik dan tertib administrasi pemerintahan daerah. Dari pada Bupati lebih banyak berada diluar daerah dengan tidak bisa kembali ke karena sedang dalam persiapan melahirkan. Ini akan menggangu pelayanan terhadap masyarakat.

Menurut Lifinus, jabatan kepala daerah merupakan amanah publik yang menuntut kepatuhan terhadap prinsip good governance, bukan pengelolaan yang bergantung pada kondisi pribadi pejabat.

“Kalau kepala daerah sedang melahirkan, seharusnya mengambil cuti sementara. Itu bukan hanya hak pribadi, tapi juga tanggung jawab publik agar roda pemerintahan tetap berjalan efektif,”tegas Lifinus.

Lifinus menekankan bahwa, pemerintahan daerah tidak boleh dijalankan secara personal. Ketika kepala daerah berhalangan sementara, maka perlu mengajukan cuti dan penyerahan tugas kepada wakil kepala daerah atau pejabat pelaksana harian (Plh) untuk menjaga keberlanjutan pelayanan publik.

“Etika publik itu bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal keteladanan dan disiplin dalam sistem pemerintahan. Kalau kepala daerah berhalangan, sistem harus tetap berjalan, bukan berhenti,”ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pelaksanaan tugas dalam kondisi melahirkan justru berpotensi mengganggu efektivitas administrasi pemerintahan dan menciptakan kesan bahwa birokrasi dikelola secara personal, bukan institusional.

Lifinus menjelaskan, Pasal 66 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diatur kepala daerah yang berhalangan sementara dapat menyerahkan wewenangnya kepada wakil kepala daerah.

Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS menegaskan hak cuti melahirkan bagi pejabat perempuan yang secara prinsip etika juga berlaku bagi pejabat publik.
Selain itu, kata dia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menuntut agar penyelenggara pemerintahan memastikan pelayanan tetap berjalan tanpa gangguan, apapun kondisi pribadi pejabatnya.

“Cuti melahirkan adalah bagian dari sistem administrasi yang sehat. Itu bentuk tanggung jawab, bukan pengabaian tugas,”jelas Lifinus.

Lifinus mencontohkan bahwa praktik serupa pernah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya adalah Bupati Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Indah Putri Indriani, yang pada tahun 2021 mengambil cuti melahirkan secara resmi selama beberapa minggu.

“Selama masa cuti, seluruh kewenangan Bupati diserahkan kepada Wakil Bupati Budiman Hakim Basri sebagai Pelaksana Harian (Plh),”tuturnya.

Langkah tersebut, kata Lifinus, menunjukkan teladan etika birokrasi dan profesionalisme pejabat publik perempuan dalam menjaga keberlangsungan pelayanan pemerintahan.

“Bupati Luwu Timur waktu itu justru dipuji karena tertib administrasi dan menghormati etika publik. Itu contoh yang baik dan seharusnya diikuti kepala daerah lain,” tambahnya.

Menurutnya, contoh seperti itu menjadi cermin bahwa menjalankan mekanisme cuti bukan tanda kelemahan, melainkan penghormatan terhadap sistem dan publik.
Lifinus menilai bahwa pengabaian terhadap mekanisme cuti dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat dan menurunkan kepercayaan publik terhadap profesionalisme pemerintah daerah.
Karena itu, Ia meminta agar setiap pejabat publik, terutama kepala daerah, menjadi teladan dalam menaati norma hukum dan etika penyelenggaraan pemerintahan.

“Urusan pribadi dan jabatan publik harus dipisahkan. Pemerintahan yang baik hanya bisa berjalan kalau dijalankan dengan disiplin sistem, bukan bergantung pada figur,”tutupnya.(Red)

spot_img
spot_img
- Advertisement -spot_img
Iklan Bawah
- Advertisement -spot_img

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Latest article