Sanana, Ufuktimur.com– Anggota DPRD Komisi III Provinsi Maluku Utara, Pardin Isa, menyampaikan kekhawatirannya terhadap rencana ekspansi 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Mangoli, Kabupaten Kepulauan Sula.
Ia menegaskan bahwa keberadaan sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di pulau Mangoli berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat lokal, terutama komunitas adat.
Dalam keterangannya, Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara Daerah Pemilihan 5 Sula – Taliabu tersebut mengatakan, bahwa meskipun aktivitas pertambangan di Mangoli saat ini belum sepenuhnya beroperasi, namun potensi ancaman terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat sudah sangat terasa.
“Pulau Mangoli ini sekarang dikepung oleh banyak IUP. Ini jelas akan berdampak besar, bukan hanya pada lingkungan, tapi juga terhadap eksistensi masyarakat adat yang telah lama hidup dan menggantungkan hidupnya dari alam,”kata Pardin saat dikonfirmasi melalui telepon Minggu (31/08/2025).
Selain itu, Pardin juga menyoroti belum adanya peraturan daerah (Perda) yang mengakui keberadaan masyarakat adat di wilayah di Pulau Mangoli. Sehingga Ia mendorong agar DPRD dan pemerintah Kabupaten Sula segera merumuskan Perda tentang pengakuan masyarakat adat, sebagai instrumen hukum untuk melindungi hak-hak mereka.
“Selama belum ada Perda pengakuan masyarakat adat, posisi mereka sangat lemah secara hukum. Ini yang harus segera direspons oleh pemerintah Daerah maupun provinsi,”tambahnya.
Lebih lanjut, Politisi Partai Nasdem ini mengkritisi dampak nyata dari aktivitas pertambangan di wilayah-wilayah lain di Maluku Utara, seperti Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Menurutnya, meskipun kedua wilayah tersebut merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara dari sektor tambang, namun angka kemiskinan masih tinggi.
“Pertumbuhan ekonomi di sana meningkat pesat, tapi masyarakatnya tetap miskin. Halmahera Timur misalnya, angka kemiskinannya masih di atas 11 persen. Ini membuktikan bahwa industri tambang tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal,”katanya
Bahkan Anggota Komisi III Deprov ini juga mengingatkan bahwa meskipun pertambangan mungkin memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, namun kerugiannya dalam jangka panjang jauh lebih besar, terutama terhadap lingkungan.
“Bagi sebagian daerah, tambang mungkin bisa mendongkrak ekonomi, tapi itu hanya sementara. Ketika bahan baku habis dan aktivitas eksploitasi berhenti, yang tersisa adalah kerusakan. Laut rusak, hutan rusak, tanah tidak bisa lagi dikelola. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas kerugian lingkungan ini? Siapa yang akan memberikan kompensasi pada masyarakat yang ruang hidupnya telah dirampas?,” tegas Pardin.
Ia pun menyayangkan terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam pengendalian pertambangan, terutama sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, yang menurutnya lebih berpihak pada investor dibanding rakyat.
Sebagai solusi, Pardin menekankan pentingnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup sebagai alat legislasi yang masih bisa dioptimalkan oleh pemerintah provinsi dan Kabupaten dalam membatasi ekspansi tambang yang tidak ramah sosial dan ekologis.
“DPRD harus berdiri bersama rakyat. Kita masih punya ruang lewat kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan untuk membentengi wilayah dari serbuan investasi tambang yang merugikan,” tutupnya. (Nox)





