Bobong, Ufuktimur.com —Taliabu — Polda dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara dinilai lemah dalam penanganan kasus korupsi Dana Desa (DD) sebanyak Rp4 Miliar lebih.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (DPD Abpednas) Provinsi Maluku Utara, Arid Fokaaya, angkat bicara soal mandeknya penanganan kasus pemotongan Dana Desa (DD) di Kabupaten Pulau Taliabu tahun anggaran 2017 yang dilakukan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Agusmawati Toib Koten.
“Saya menilai institusi penegak hukum seperti Kepolisian Daerah (Polda) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut lemah dalam mengusut tuntas kasus tersebut,” tegasnya
Menurut Arid, sudah lebih dari 8 sampai 9 tahun masyarakat di Pulau Taliabu masih menanti kejelasan hukum, namun sejauh ini tidak ada progres dari aparat penegak hukum. “Kami mempertanyakan komitmen Polda dan Kejati dalam memberantas korupsi di sektor desa. Pemotongan anggaran dana desa adalah bentuk perampokan terhadap hak masyarakat desa,” tegasnya.
Dijelaskannya, dugaan pemotongan itu telah dilaporkan ke berbagai lembaga, bahkan sebagian informasi dan bukti awal sudah dipegang oleh pihak-pihak yang berwenang. Namun, tidak ada satu pun pejabat yang dimintai pertanggungjawaban hukum hingga saat ini.
“Ini menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di Maluku Utara. Jangan sampai publik melihat bahwa kasus ini sengaja dibiarkan karena menyangkut elite politik atau aktor birokrasi yang punya jaringan kekuasaan,” tegas Arid.
Mantan sekretaris Abpednas mendesak Kapolda dan Kajati Malut untuk membuka kembali berkas perkara ini secara transparan. Jika tidak, pihaknya akan menggalang konsolidasi nasional bersama DPP Abpednas untuk membawa isu ini ke KPK dan Komisi III DPR RI.
“Ini bukan sekadar soal hukum, tapi menyangkut keadilan sosial dan masa depan desa. Dana desa adalah instrumen utama pemerataan pembangunan, dan jika dipotong di tengah jalan oleh oknum, maka itu harus dianggap sebagai kejahatan serius terhadap negara,” tambahnya.
Mantan ketua BPD ini mengajak seluruh BPD di Maluku Utara, khususnya di Pulau Taliabu, untuk ikut bersuara dan mendokumentasikan penyalahgunaan kewenangan yang selama ini kerap terjadi. “BPD jangan diam. Kita bukan lembaga simbolik, tapi bagian dari sistem kontrol desa,” tegasnya.Arid menyatakan, bahwa reformasi sektor desa tidak akan berjalan jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
“Saya berharap, penegak hukum di Maluku Utara tidak bersikap kompromistis terhadap kasus-kasus korupsi desa yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat paling bawah,” pungkasnya. (*)