“Sadari betapa hidup kita adalah perjalanan panjang tentang bertumbuh, jatuh cinta, patah hati, berhasil, dan banyak lagi. Sudah saatnya berubah dan menjadi lebih baik, temukan lagi makna keberadaan kita adalah hidup ini.”
Iya, ditinggalkan dalam beberapa waktu menimbulkan luka, rasa-rasanya tidak bisa disembuhkan, rasa kehilangan bersemayam di benakku saat kata itu di ucapkan berulang kali. Bukan berarti aku tanpa usaha mengikhlaskan kepergiannya. Aku pernah mencoba menanamkan keyakinan bahwa sejatinya manusia itu tidak mempunyai apa-apa, sehingga kata kehilangan seharusnya tidak ada dalam kamus hidup.
Mungkin aku dapat menyembunyikan rindu yang terkadang datang tanpa diundang. Tapi dia? Sepasang matanya telah menjelma palung yang dalam bagi kesedihan bersemayam. Ada yang berubah dengan mata itu. Sepasang mata yang telah meredup itu seperti selalu ingin menumpahkan beban rindu.
Hampir setiap hari, dia mengelap foto yang ada di hp miliknya, foto itu dibingkai dan diletakkan secara berdiri. Sehingga apa yang dilakukan, menyebabkan foto itu selalu tampak mengkilat seakan masih baru. Memang dia tidak pernah mengeluarkan air mata saat prosesi itu dilakukannya, tapi aku selalu melihat tatapan itu seperti berkata kalau ia ingin sekali bertemu dengan seseorang. Sekali lagi, dia benar-benar belum dapat menerima kenyataan di masa lalunya.
Atas perilakunya itu, dia pernah ditegur beberapa kali, namun teguranku tidak pernah mempan. Tidak kehabisan akal, aku menggunakan cara lain. Aku pernah berada pada masa-masa mengajak, sesering mungkin ke tempat-tempat yang indah. Aku berusaha dengan lebih keras menuruti apa yang dimauinya. Semua usaha itu hanya berujung pada kegagalan. Aku merasa berhadapan dengan tembok besar nan kokoh, yang tidak tahu bagaimana lagi menaklukkan keperkasaan dan kegagahannya.
*Rindu itu mengabadi di matanya.
Akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Aku tidak mampu mengentaskannya dari perasaan tidak rela kehilangan. Sedangkan dia masih terus mengelap foto di setiap saat, lalu mengatur ulang letak foto itu dengan cermat, seakan benda itu sakral.
Suatu ketika, aku tidak menyangka bahwa perilakunya akan menurunkan perilaku aneh yang lain dalam dirinya. Bahkan ini tidak lebih daripada sesuatu hal yang gila.
Sore itu, saat aku pulang dari kerja, dia duduk di kursi sembari menggenggam hp.
Matanya tampak bening seolah ada yang disesalkan.
Padahal aku sudah mencoba untuk merangkai banyak asa untuk menapaki hidup (****), tapi ternyata berujung pada kegagalan. Sakit si, Iya, karena menorehkan luka. Gagal untuk melangkah, jelas bukan pengalaman yang menyenangkan.
Terakhir, bersedih boleh, tapi secukupnya, setelah itu kembali berdamai dengan keadaan. (*)
Oleh : Hasman Sangadji