Oleh : Angriani
Ketua Umum HMT Cabang Ternate
KEPEMIMPINAN selalu diuji bukan oleh seberapa lantang ia berbicara tentang perubahan, melainkan seberapa nyata perubahan itu dirasakan oleh rakyat. Pulau Taliabu, yang beberapa tahun terakhir dipimpin oleh bupati muda dengan citra progresif, awalnya memikul optimisme besar. Banyak rakyat berharap hadirnya energi baru akan menggeser pola lama birokrasi yang tersendat, membuka ruang partisipasi publik, dan menghadirkan kebijakan yang lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat. Namun kenyataan yang muncul justru memunculkan pertanyaan mendasar. Benarkah Taliabu sedang dituntun menuju arah baru, atau justru berjalan tanpa arah?
Salah satu potret paling gamblang dari lemahnya tata kelola pemerintahan hari ini terlihat pada masalah integritas birokrasi. Penunjukan pejabat strategis yang tidak melalui proses verifikasi ketat seperti munculnya dugaan ijazah bermasalah pada Sekda Taliabu menjadi indikator nyata bahwa sistem pengawasan internal pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Jabatan Sekretaris Daerah bukan posisi sembarangan, ia adalah motor utama yang menggerakkan seluruh roda birokrasi. Ketika bupati lalai memastikan bahwa pejabat setinggi itu memenuhi standar hukum dan integritas, maka pesan yang diterima publik sangat jelas. Ketelitian bukan prioritas, integritas bukan batas minimal. Kesalahan seperti ini bukan sekadar administratif, tetapi memperlihatkan minimnya ketegasan dalam menjaga kredibilitas pemerintahan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan fisik memang ada, terlihat kantor baru, proyek jalan, dan berbagai infrastruktur lain. Tetapi muncul pertanyaan penting yang tak bisa dihindari, sejauh mana pembangunan itu meningkatkan kualitas hidup masyarakat? Sebab kenyataannya, sebagian besar masyarakat masih menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, kualitas pendidikan masih tertinggal, desa-desa terpencil masih hidup dalam keterbatasan listrik dan air bersih, dan ekonomi lokal tidak menunjukkan percepatan yang berarti. Pembangunan yang baik seharusnya tidak hanya mengubah lanskap kota, tetapi juga mengubah kehidupan masyarakat. Sayangnya, yang terjadi di Taliabu saat ini lebih mirip pembangunan kosmetik tampak luar diperbaiki, tetapi struktur sosial-ekonomi masyarakat tidak disentuh secara serius. Inilah yang menyebabkan publik mempertanyakan arah pembangunan di Taliabu. Apakah pemerintah sedang membangun realitas, atau hanya membangun citra?
Tidak hanya itu banyak kebijakan strategis yang tidak disosialisasikan dengan baik, minim transparansi, dan kurang melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks, pemimpin ideal bukan hanya yang hadir di balik meja kerja, tetapi yang menyerap keluhan rakyatnya secara langsung, memahami ritme kehidupan di desa-desa, dan mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekadar data administratif atau kepentingan elite tertentu. Ketidakhadiran pemimpin dalam ruang-ruang dialog publik menjadi kehilangan besar bagi daerah yang sedang berada dalam fase penting untuk menentukan arah pembangunan jangka panjang.
Lebih jauh, sulit untuk mengabaikan bayang-bayang dinasti politik yang begitu kuat memengaruhi arah pemerintahan di Taliabu. Banyak orang melihat bahwa Sashabila Mus tidak benar-benar memimpin dengan visi independen, melainkan mengikuti orbit kekuasaan keluarga yang telah lama mendominasi politik di Maluku Utara. Dominasi semacam ini membuat ruang kritik menyempit dan inovasi mandek. Ketika keputusan besar lebih dipengaruhi oleh loyalitas internal daripada nalar publik, maka pembangunan tidak berjalan berdasarkan kebutuhan masyarakat, tetapi berdasarkan peta kekuasaan. Taliabu pada akhirnya terjebak dalam pola yang sama. “Pimpinan boleh berganti, wajah boleh lebih muda, tetapi struktur kekuasaan tetap tidak berubah”. Dalam situasi seperti ini, inovasi akan stagnan, potensi putra-putri daerah terhambat, dan kepemimpinan berubah menjadi rutinitas yang monoton, bukan energi yang memajukan.
Padahal, Taliabu memiliki modal yang sangat besar untuk berkembang. Kekayaan alam, letak geografis yang strategis, dan masyarakat yang semakin kritis serta semakin terdidik. Namun modal ini tidak akan menjadi kekuatan apabila pemerintah gagal menata arah pembangunan dan gagal memastikan bahwa kebijakan dibuat berdasarkan kebutuhan riil rakyat, bukan demi menjaga keseimbangan politik internal. Apa gunanya visi jika tidak diikuti ketegasan eksekusi? Apa gunanya kepemimpinan muda jika mentalitas yang digunakan masih mentalitas lama?
Saatnya Berbenah, Taliabu Butuh Arah, diperhatikan bukan dipantau dari meja pusat, atau perjalanan dinas yang bikin habis anggaran. Perubahan itu di jemput, bukan besok, bukan tahun depan tetapi sekarang. Jika dalam pemerintahan Sashabila Mus tidak segera memperbaiki tata kelola, menata ulang birokrasi, membersihkan figur-figur bermasalah, membuka ruang kritik, dan melepaskan diri dari kendali keluarga, maka Taliabu akan terus bergerak tanpa kompas.
Taliabu layak mendapatkan pemimpin yang berpihak, bukan pemimpin yang sekadar hadir. Taliabu layak mendapatkan perubahan, itu bukan alasan. Taliabu layak mendapatkan masa depan yang disusun oleh keberanian mengambil keputusan, bukan oleh kenyamanan yang katanya loby-loby pusat.
Jika tidak ada langkah besar yang dilakukan, maka sejarah akan mencatat kepemimpinan hari ini bukan sebagai momentum perbaikan, melainkan silklus berulang pada ketikpekaan, KKN, OPD bermasalah, Jalan-jalan mengantar nyawa, pendidikan tak berkualitas, tenaga kesehatan tak berkompeten, pelayanan buruk, birokrasi hancur.
Kami tak butuh pemimpin muda, yang kami butuhkan pemimpin yang berani bertanggung jawab secara penuh, terbuka terhadap kritik, dan tegas menegakkan integritas birokrasi. Kepemimpinan Sashabila Mus sebenarnya masih memiliki peluang untuk berubah arah, melakukan evaluasi, dan membuktikan kapasitasnya. Tetapi jika gaya kepemimpinan saat ini tetap dipertahankan mengabaikan pengawasan, membiarkan struktur birokrasi diisi figur bermasalah, menutup telinga dari aspirasi publik, dan terjebak dalam lingkaran dinasti maka Taliabu akan terus berjalan lambat, bahkan mungkin mundur di saat daerah lain sedang berlari.
Saat ini, masyarakat tidak menuntut kesempurnaan dari Bupati Sashabila Mus yang rakyat tuntut hanyalah pemerintahan yang bekerja dengan jujur, transparan, dan kompeten sesuatu yang seharusnya menjadi standar paling dasar dari setiap pemimpin, terutama pemimpin muda yang membawa nama perubahan.
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling dasar adalah apakah Taliabu akan tetap dibiarkan terombang-ambing, atau pemerintah memiliki keberanian untuk mengubah haluan? Waktu tidak akan menunggu. Dan rakyat sudah terlalu lama menunggu pembuktian bahwa janji perubahan bukan sekadar kata-kata. (*)





